HAMBATAN & KENDALA KEMAJUAN SISTEM PENGOBATAN NATUROPATI III

24 Mar 2023

HAMBATAN  &  KENDALA KEMAJUAN SISTEM PENGOBATAN NATUROPATI


4.  KENDALA  BIROKRATIS


Kebijakan  Birokrasi  Tidak  Mendukung  Pengobatan  Naturopati

Beralih ke masalah birokrasi Indonesia dewasa ini. Kecenderungan masyarakat untuk kembali ke alam ini tidak mendapatkan dukungan yang memadai dari birokasi, malah sering kali kebijakan birokrasi justru sangat menghambat perkembangan pengobatan dan obat-obatan tradisional alami. Ini sangat kontras dengan birokrasi di negeri China, India, bahkan Indochina yang amat gencar mempromosikan obat tradisional mereka. Thailand, Myanmar, Vietnam, Laos, Kamboja, dan bahkan Malaysia, giat mengekspor ke China akan bahan baku tanaman obat mereka, bagi pembuatan obat tradisional di China.


Pola  Keliru  Sebagai  Kanibalis  Bagi  Pengobatan  Naturopati

Tantangan terberat berasal dari birokrasi melalui pejabat atau petugas yang memunyai relevansi dengan bidang kesehatan dan pengobatan, karena hampir semuanya berpola pikir atau berlogika deduktif, dan berorientasi pada ilmu pengetahuan ala Barat, yakni menggunakan pendekatan deduktif dan metode kuantitatif, di mana pola pikir deduktif dan kuantitatif ini juga diterapkan secara “gebyah uyah” dan “gugur gunung” kepada ilmu pengobatan Timur yang berpendekatan induktif dan bermetode kualitatif. Akibatnya, Indonesia menjadi “kedodoran” dalam bidang pengobatan tradisional dan pemanfaatan obat alami.


Pola  Kuantitatif  Digunakan  Sebagai  Alat  Ukur  Pola  Kualitatif

Kegegabahan penerapan ukuran dengan memakai alat ukur yang sama sekali berlainan, sudah terlalu parah sehingga hampir mirip bagaikan mengukur tinggi badan dengan dacin timbangan atau mengukur berat tubuh dengan termometer, atau mengukur rasa cinta dengan jumlah ciuman atau pemberian hadiah, sehingga hasilnya adalah “Jauh panggang dari api.” Penanganan terhadap obat Barat memang seharusnya bersifat kuantitatif karena obat ini adalah racun dalam dosis kecil, tapi penanganan obat tradisional tidak seharusnya memakai pola kuantitatif karena kebanyakan kandungannya adalah makanan sehari-hari.


Harimau  Diberi  Makan  Sayur  Dan  Sapi  Diberi  Makan  Daging

Sulit untuk memahami bahwa penakaran dosis obat tradisional, yang diturunkan oleh nenek moyang umat manusia dalam ukuran atau hitungan: sehelai, segenggam, setelunjuk, sesiung, sebatang, sejumput, dan ukuran kualitatif lainnya, harus diubah menjadi ukuran gram, atau mililiter. Sudah ada pakar yang berhasil mengkonversikan dosis kualitatif tersebut menjadi ukuran kuantitatif, akibat adanya tuntutan dari birokrasi untuk hal tersebut. Tentunya pakar ini juga amat terpengaruh oleh pola kuantitatif dan deduktif ala ilmu pengetahuan Oksidentalis yang berorientasi pada racun kimiawi sebagai obat.


Alam  Diharuskan  Menyesuaikan  Diri  Pada  Peraturan  Manusia

Akibat tindakan yang bagaikan penjajah Belanda mewajibkan kultuur stelsel (tanam paksa), jamu rajangan kehilangan gregetnya untuk menjadi dirinya sendiri. Takaran 2 siung, 1 buah, 3 biji, atau 5 helai, harus dikonversi ke dalam ukuran bobot. Alhasil, bahan itu harus dipotong, dipecah, disayat, atau dikerat sebagian agar sesuai dengan bobot yang ditentukan. Padahal, dengan dipenggal, maka bahan itu mengalami luka terbuka yang dapat melenyapkan khasiatnya akibat kandungan zat tertentu menguap. Lalu di mana letak kekhasan obat tradisional? Birokrasi tidak perduli. Aji yang digunakan adalah “Ilmu Pokoknya.”


Legalisme  Sebagai  Paham  Yang  Tidak  Mencukupi  Nilai  Moral

Juga kebijakan yang diterapkan oleh birokrasi di bidang kesehatan, masih amat kental mengandung asas legalisme. Walaupun peraturannya bertentangan dengan logika dan ilmu pengetahuan atau akal sehat, namun tetap saja yang dipakai selama belasan tahun sebagai dasar adalah peraturan tersebut, tanpa ada kehendak untuk mengubah peraturan tersebut. Padahal peraturan tersebut hanyalah peraturan menteri atau kepala badan, bukan UU yang prosesnya rumit untuk mengubahnya, bahkan UU pun harus diubah jika sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman dan kebutuhan hidup masyarakat banyak.


Api  Diragukan  Panas  Dan  Dapat  Membakar

Jika ada pendaftaran obat tradisional bagi cairan obat luar yang mengandung alkohol berkadar 70% maka tetap saja obat itu harus melalui uji kadar kandungan bakteri patogen di samping uji kadar alkohol. Padahal, manakah ada bakteri yang dapat hidup dalam alkohol berkadar 70%? Dengan kadar alkohol 30-40% saja, bakteri pathogen sudah mati, apalagi dengan alkohol berkadar 70%. Kejanggalan ini disebabkan karena peraturannya mewajibkan semua cairan obat luar harus melalui uji kandungan bakteri patogen. Padahal peraturan itu sudah daluarsa oleh waktu karena tidak mengikuti perkembangan zaman.


Hidup  Di  Era  Sekarang  Dengan  Mimpi  Masa  Lampau

Peraturan itu berasal dari masa lampau di mana cairan obat luar belum ada yang mengandung alkohol, yang ada hanyalah param kocok dan sejenisnya yang kebanyakan pelarutnya adalah minyak, air, atau air ditambah minyak atsiri. Begitu pula mereka terpaku pada 10 jenis bentuk sediaan obat, yakni rajangan, serbuk, tablet, parem, tapel, koyok, cairan obat dalam, cairan obat luar, kapsul, salep, pil, pastiles. Di luar dari ke-10 bentuk sediaan tersebut, maka sudah pasti tiada obat tradisional yang diizinkan untuk diproduksi guna diperdagangkan. Koyok tradisional yang sudah jarang digunakan, tetap saja dijadikan primadona.


Over  Bodig  Berlebihan  Bagaikan  Menggarami  Laut

Begitu pula salep obat yang menggunakan media vaselin, diharuskan juga melalui uji kandungan bakteri patogen, padahal manakah ada kuman yang dapat hidup dalam bahan derivatif minyak bumi? Mungkinkah kuman hidup di dalam lilin, parafin (vaselin), oli, solar, minyak tanah, gliserin, heksilin, atau gummy arabica, garam, gula, dan lain-lain yang sejenisnya? Gula dan gummy Arabica saja yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, tidak dapat menjadi habitat dari kuman, itulah sebabnya dipakai sebagai bahan pengawet makanan, apalagi produk sampingan dari minyak bumi.  Benar-benar peraturan yang mengada-ngada!


Pengobatan  Naturopati  Selama  Ini  Terhambat  Maju  Di  Indonesia

Zaman berubah, ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang, kebutuhan manusia semakin kompleks, penyakit yang terungkap semakin banyak, invensi dan inovasi di bidang peningkatan kemudahan dan kenyamanan hidup juga semakin marak, namun hal ini tidak diimbangi oleh aktivitas, mobilitas, fleksibilitas, responsitas, dan responsibilitas dari birokrasi. Sampai sekarang ini industri obat tradisional tidak diizinkan untuk membuat dan memasarkan shampoo, sabun, facial tonic, hair tonic, yang bersifat obat tradisional, padahal negara lain telah mengizinkannya sejak beberapa puluh tahun yang lalu.


Tangan  Gaib  Cukup  Berkuasa  Menerobos  Kendala

Bahan tersebut dikategorikan sebagai kosmetika, sehingga tidak boleh diproduksi sebagai obat tradisional walaupun mengandung obat tradisional dan bersifat pengobatan. Padahal, sebagai kosmetika, produk tersebut tidak boleh memiliki klaim khasiat. Sekarang ini, hanya untuk shampoo saja yang masih diizinkan, namun harus dengan menggunakan nama akal-akalan seperti: cairan obat luar pembersih rambut. Itupun konon pada awalnya disebabkan adanya pengusaha dan perusahaan besar yang berhasil menerobos benteng hambatan tersebut melalui cara tersendiri yang handal dan unik serta konfidensial.


Sumber: Buku Kembali Ke Alam (Back to Nature)

oleh Dr. Aggi Tjetje & Dr. Some

(Suatu Tinjauan Mendalam Akan: Kiprah dan Sumbangsih Serta Pengabdian Pengobatan Tradisional Dalam Pembangunan Nasional)