KERUGIAN & KERENTANAN NASIONAL I

01 Apr 2023

KERUGIAN  &  KERENTANAN  NASIONAL I


1.  KERUGIAN  NEGARA


Ayam  Mati  Kelaparan  Di  Dalam  Lumbung  Padi

Akibat “asas cari selamat” dari kaum birokrat pada umumnya, maka birokrasi di bidang pembinaan pengobatan tradisional juga menerapkan asas tersebut tanpa menghiraukan kerugian bagi kepentingan masyarakat dan bangsa. Akibatnya, per-jamu-an Indonesia yang telah berusia ratusan tahun, tetap begitu-begitu saja tanpa ada kemajuan yang berarti. Bahan baku yang digunakan hanyalah sekitar bahan yang itu-itu saja. Jamu Indonesia lebih bersifat promotif (tonikum atau roboransia) ketimbang sebagai obat (medicine), kalah jauh dibandingkan dengan negara China atau India yang telah maju dalam hal pembuatan obat tradisional.


Potensi  Alam  Banyak  Yang  Mubazir  Akibat  Kebijakan  Keliru

Alhasil, banyak sekali potensi alam Indonesia yang idle (mubazir) hanya karena tidak termasuk ke dalam “daftar” bahan jamu konvensional. Tanaman obat yang tumbuh secara liar di hutan, di pantai, di laut, di pematang sawah, di gunung, di lahan terlantar, tidak termanfaatkan sama sekali. Hanya sebagian kecil tanaman liar yang termasuk di dalam daftar konvensional per-jamu-an Indonesia yang dimanfaatkan, seperti: Sambiloto, Brotowali, Sendokan, Mangkokan, Teki, Kumis Kucing, Pegagan, Patikan, Meniran, Bluntas, Benalu, dan lainnya, namun masih ada ribuan, bahkan puluhan ribu jenis yang tidak dimanfaatkan sedikit pun.


Sumberdaya  Terboroskan  Jika  Berurusan  Dengan  Birokrasi

Produsen obat tradisional dalam negeri kebanyakan adalah industri kecil obat tradisional (IKOT) yang umumnya bermodal kecil, sehingga belum apa-apa sudah “ketakutan” melihat “keseraman” wajah birokrasi terkait, yang siap dengan persyaratannya yang sewenang-wenang dan semena-mena, yang sering jauh dari logika atau akal sehat. Persyaratan yang setiap kali selalu berubah-ubah itu sangat memakan biaya, waktu, tenaga, pikiran, dan kesempatan. Alur informasinya tidak pernah konsisten dan konsekuen. Sangat memboroskan sumberdaya jika berurusan dengan “tirani” birokrasi yang amat feodalistis itu.


Produsen  Obat  Tradisional  Menjadi  Enggan  Melakukan  R & D

Alhasil, invensi atau inovasi sangat langka dalam bidang obat tradisional. Produsen yang menggeluti bidang obat tradisional, kebanyakan adalah pelaku ekonomi bermodal kecil. Dengan segala persyaratannya yang hendak meniru negara Barat tetapi dengan sumberdaya manusia yang seadanya dan sekenanya, telah berakibat pada mandegnya perkembangan obat tradisional karena IKOT enggan mengembangkannya akibat beban biaya yang tinggi ditambah segala persyaratan yang amat merepotkan. Industri besar yang mapan tidak terlalu berminat melakukan invensi karena sudah puas dengan apa yang dimilikinya.


Anjing  Diberangus,  Serigala  Dibiarkan  Merajalelela

Penggunaan arak berkadar alkohol tinggi sebagai campuran obat tradisional per oral merupakan hal yang lazim pada obat tradisional di beberapa negara, namun di Indonesia, yang diizinkan hanya yang berkadar alkohol 1%. Alasannya adalah dikhawatirkan terjadi penyalahgunaan obat oleh penggemar minuman keras. Padahal, apakah mungkin para pemabuk mengonsumsi arak obat seharga Rp. 1,5 juta per botol? Apa yang seharusnya dilarang adalah minuman hiburan berkadar alkohol tinggi seperti Whiskey, Brandy, Rum, atau Vodka, yang harganya hanya puluhan ribu, namun peredaran minuman keras ini justru dibiarkan merebak.


Ada  Kemungkinan  Birokrasi  Telah  Melanggar  UU  Antidiskriminasi

Di Indonesia, ada beberapa kelompok etnis yang dalam sistem pengobatannya terdapat bahan dasar dari arak atau tuak, misalnya etnis Batak, China, Toraja, dan lainnya. Dengan pelarangan penggunaan bahan arak tersebut, maka berarti terdapat pelarangan atas sebagian dari sistem pengobatan mereka. Mereka menggunakan arak untuk pengobatan, bukan untuk kesenangan atau foya-foya. Birokrasi telah melangkah terlalu jauh untuk bertindak seolah-olah sebagai instansi keagamaan atau keamanan. Agama saja tidak melarang penggunaan arak sejauh itu dipergunakan untuk obat. Bagi pengobatan maka segalanya halal.


Kebijakan  Sumbang  Yang  Menyia-nyiakan  Sumberdaya  Alam

Betapa besar kerugian bagi perekonomian Indonesia karena kehilangan peluang emas (golden opportunity lost) dari tanaman obat yang tumbuh secara liar. Oleh karena tumbuh secara liar maka tidak perlu perawatan sebagaimana merawat tanaman padi atau sayur, sehingga biaya perawatannya tidak ada, yang ada hanya biaya pengambilan dan pengangkutannya. Betapa bodohnya kita karena telah menyia-nyiakan pemberian alam secara gratis dan berlimpah itu. Padahal, nilai tanaman liar tersebut ada yang berpuluh kali lipat harganya dibandingkan dengan nilai tanaman padi, palawija, atau sayur mayur, bahkan tembakau.


Kerugian  Negara  Akibat  Kebijakan  Yang  Tidak  Cerdas

Akibat ketidakperdulian (kecuwekan) birokrasi, maka Indonesia tidak menjadi pengekspor tanaman obat yang berasal dari alam (tumbuh secara liar). Posisi tersebut diraih oleh negara ASEAN lainnya seperti Thailand, Myanmar, Vietnam, bahkan Malaysia. Padahal, hampir 70% bahan baku obat tradisional China, berasal dari tanaman tropis. Nilai perdagangannya di seluruh dunia mencapai puluhan milyar dolar AS. Indonesia seharusnya dapat menguasai pangsa pasar sebesar minimal 10% dari nilai tersebut. Namun apa lacur, kita tidak memiliki birokrasi yang dapat mengendus peluang emas yang “terserak tanpa tuan” itu.


Tunggu lanjutannya >>>>


Sumber:

Buku Kembali Ke Alam (Back to Nature)

oleh Dr. Aggi Tjetje & Dr. Some

(Suatu Tinjauan Mendalam Akan: Kiprah dan Sumbangsih Serta Pengabdian Pengobatan Tradisional Dalam Pembangunan Nasional)