MECEGAH MALPRAKTIK

22 Mar 2023

MECEGAH  MALPRAKTIK


Menghindari  Malpraktik  Adalah  Upaya  Yang  Terpenting

Malpraktik biasanya disebabkan oleh tiga hal, yakni: ketidaksengajaan, kesengajaan, dan kesalahan pihak ketiga.


Ketidaksengajaan meliputi:

  1. Kealpaan akibat lupa,
  2. Kenaifan akibat ketidaktahuan,
  3. Ketidaktelitian akibat berasumsi apriori (berandai-andai).

Kesengajaan meliputi: 

  1. Kenekatan akibat keminter (sok pinter),
  2. Spekulasi akibat mengandalkan tindakan untung-untungan (trial and error),
  3. Memilih jalan pintas yang tidak lege artis akibat tidak mau berabe.

Kelalaian pihak ketiga meliputi:

  1. Rusaknya atau tercemarnya peralatan atau obat,
  2. Kesalahan asisten, laboratorium, atau apotik,
  3. Kekeliruan administrasi

Seharusnya  Tidak  Mudah  Mendiagnosis  Dan  Memberikan  Pengobatan

Untuk menghindari malpraktik, diperlukan kecermatan dan kehati-hatian serta ketelitian maksimal di samping profesionalitas dan integritas yang prima. Itulah sebabnya pengobat (dokter atau tabib) yang benar, tidak melakukan diagnosis berdasarkan kesimpulan yang diperoleh dari hasil tanya jawab (anamnesis) atau dari sekedar membaca hasil test kesehatan pada ketika itu juga, melainkan harus memelajari atau mengkajinya secara sungguh-sungguh berdasarkan literatur (kepustakaan), urun rembug (diskusi) dengan rekan sejawat, berkonsultasi dengan pakar yang lebih paham, barulah akhirnya ditentukan diagnosisnya.


Pengobat  Adalah  Manusia,  Bukanlah  Mesin  Canggih  Digitalis

Seharusnya, dokter atau tabib dilarang mengambil kesimpulan secara refleksif dan reaktif berdasarkan kebiasaan dan ingatan semata untuk lalu memberikan tindakan atau obat pada saat itu juga. Ingatan bisa saja salah. Pengobat seyogyanya hanya boleh memberikan tindakan atau obat, paling tidak tiga hari setelah pasien berkonsultasi dengannya. Satu hari digunakan untuk memeriksa kepustakaan, satu hari digunakan untuk urun rembug dengan rekan sejawat, dan satu hari lagi digunakan untuk berkonsultasi dengan pakar lain atau mencari tambahan data. Setelah itu, barulah pasien diberi obat atau tindakan pengobatan.


Jangan  Sampai  Terjadi  Pagar  Makan  Tanaman,  Dokter  Makan  Pasien

Dengan pemikiran banyak orang maka terjadilah pemantauan otomatis dan pengawasan melekat sehingga malpraktik bisa dihindari. Apakah cara semacam ini tidak merepotkan pengobat dan pasien? Jawabannya, tentu saja merepotkan! Akan tetapi, apakah keselamatan nyawa manusia dapat diabaikan begitu saja demi agar tidak merepotkan atau berabe? Apalagi nyawa dari pasien yang telah mengeluarkan uang untuk membayar tarif periksa dan harga obat, yang berarti telah memberi nafkah kehidupan bagi pengobatnya. Sungguh amat keji jika pengobat sampai menyebabkan kematian orang yang telah menafkahi hidupnya.


Prosedur  Standar  Perlindungan  Keselamatan  Nyawa  Manusia.

Seorang pilot senior yang walaupun telah memiliki pengalaman 10 ribu jam terbang, jika hendak menerbangkan pesawatnya, maka ia harus mengoperasikan pesawatnya selangkah demi selangkah di mana pada setiap langkahnya, ia harus melihat check list pada buku petunjuk (manual) yang selalu tersedia di dalam cockpit, tidak perduli walaupun ia telah hafal di luar kepala. Setiap kali melihat petunjuk untuk satu tahap, maka pilot harus membacanya kencang-kencang agar terpantau oleh menara pengawas dan sekaligus direkam oleh menara dan kotak hitam (black box) di dalam pesawat. Ini semua dilakukan setiap kali terbang. 


Pengobat  Adalah  Pilot  Di  Darat  Bagi  Para  Pasiennya

Sebagaimana pilot yang dilarang keras menghidupkan mesin pesawat dan menerbangkannya hanya berdasarkan hafalan di luar kepala atau ingatan semata karena dapat saja terjadi kekhilafan atau kelengahan manusiawi, sehingga banyak nyawa manusia yang dipertaruhkan, maka demikian pula halnya dengan pengobat di mana nyawa pasiennya bergantung pada tindakannya, juga seharusnya dikenakan kewajiban yang sama seperti pada pilot. Hampir kebanyakan malpraktik disebabkan oleh human error yang analogis dengan menerbangkan pesawat tanpa mengacu kepada buku petunjuk.


Pengobat  Juga  Seharusnya  Dikenakan  Kewajiban  Seperti  Pilot

Ilmu pengobatan dan ragam penyakit, jauh lebih rumit dan pelik dari pada menerbangkan pesawat terbang, sedangkan pengobat bukanlah malaikat yang tidak dapat lupa, lengah, lalai, alpa, atau khilaf. Oleh karena itu, dalam “menerbangkan pesawatnya” pengobat juga harus mengacu pada buku petunjuk, yakni text book kedokteran atau kepustakaan medis lainnya. Mungkin saja dianggap bahwa kesalahan pilot akan menyebabkan tewasnya ratusan orang, sedangkan kesalahan pengobat paling banter hanya merengut satu atau dua nyawa saja. Ini adalah dasar pemikiran yang sangat absurd dan amat keliru.


Keselamatan  Nyawa  Manusia  Tidak  Mengenal  Skala  Prioritas

Pemikiran demikian sama sekali tidak masuk akal karena untuk nyawa manusia, sekali-kali tidak boleh dikenakan perbandingan secara kuantitatif. Nyawa satu orang sama berharganya dengan nyawa 100 orang. Apalagi secara jangka panjang, kekeliruan pengobat yang tidak disadari, dapat merengut nyawa yang lebih banyak dari pada nyawa penumpang seisi pesawat, jika pengobat tetap bertindak khilaf secara terus menerus karena tidak segera menyadarinya, secara laun tapi pasti, nyawa pasien akan tercabut satu persatu selama puluhan tahun oleh pengobat sepanjang masa praktiknya sebelum pensiun.


Sumber: Buku Kembali Ke Alam (Back to Nature)

oleh Dr. Aggi Tjetje & Dr. Some

(Suatu Tinjauan Mendalam Akan: Kiprah dan Sumbangsih Serta Pengabdian Pengobatan Tradisional Dalam Pembangunan Nasional)