PENGOBATAN & AGAMA
1. PENGELOLAAN AGAMA OLEH BIROKRASI
Pengobatan Dan Obat Tradisional Terkait Erat Dengan Agama
Akhirnya, ada satu isu lagi yang cukup penting namun juga terabaikan, yakni bahwa pengobatan tradisional unggulan seperti pengobatan tradisional China dan pengobatan tradisional India, sangat berkaitan erat dengan agama yang mendasarinya. Pengobatan tradisional India berdasarkan Agama Hindu dan Agama Buddha, sedangkan pengobatan tradisional China berdasarkan Agama China. Pengobatan tradisional Nusantara merupakan kombinasi dari kedua sistem pengobatan tersebut memiliki akar pada Agama Asli Nusantara seperti Kejawen, yang oleh Orde Baru dikategorikan sebagai aliran kebatinan.
Negara Memosisikan Diri Sebagai Pengaku Agama
Akan tetapi, Agama China belum menjadi “agama resmi” di Indonesia, padahal keberadaan agama ini telah diakui secara implisit oleh peraturan perundangan, yakni Inpres No. 14 Tahun 1967 yang digunakan oleh Orde Baru untuk membatasi kegiatan agama ini, sedangkan Agama Hindu dan Agama Buddha tidak mengalami kendala apa pun karena telah “diakui” (dilayani sebagai agama resmi) sejak tahun 1965 melalui PNPS (Perpu) No 1 Tahun 1965 yang kemudian menjadi UU No.1 Tahun 1965. Dalam Inpres No. 14 Tahun 1967 tersebut, nyata-nyata secara gamblang dan harfiah (tersurat) disebutkan adanya Agama China.
Bagaikan Melepas Narapidana Namun Tidak Dibina
Setelah Inpres tersebut dicabut oleh pemerintahan Presiden Gusdur, Agama China ini tidak diurus dan tidak diberi wadah tersendiri melainkan dibiarkan “berselancar” di antara gelombang dan ranjau kehidupan beragama, demi survivalitasnya, melalui caranya sendiri, antara lain “menyusup” bernaung di bawah “bendera” Agama Buddha. Pengobatan tradisional China sangat terkait erat dengan Agama China (Hoa Kao/Sin Kauw; Chinese Religion), sebagaimana halnya pengobatan tradisional India sangat erat berkaitan dengan Agama Hindu dan kitab sucinya Veda, dan Agama Buddha dengan kitab sucinya Tripitaka.
Memanah Serigala Tetapi Domba Yang Terkena
Di era Orde Baru, Agama China ini dianggap sebagai Agama Khong Hu Cu oleh birokrasi level bawah, sehingga tujuannya yang semula untuk menindas Agama China, tetapi malah yang terkena adalah Agama Khong Hu Cu, sedangkan Agama China ini aman-aman saja berlindung di bawah “panji” Agama Buddha. Pada waktu itu, umat Khong Hu Cu sendiri tidak menyadari bahwa mereka bukanlah Agama China, melainkan agama asal China. Jika pada era Orde Baru, Agama Khong Hu Cu dianggap sebagai Agama China, maka di era reformasi kini Agama China dianggap sebagai Agama Khong Hu Cu dengan segala dampaknya.
Kebijakan Sinkretistik (Pencampuradukan Berbagai Agama)
Cukup banyak birokrat yang enggan mengakui adanya Agama China ini, karena merancukannya dengan Agama Khong Hu Cu. Mereka tidak dapat membedakan antara “agama asal China” dengan “Agama China.” Agama asal China itu ada empat yakni Agama China, Agama Khong Hu Cu, Agama Tao, dan Agama Buddha Mahayana versi China (Sino Tibetan Buddhism; Han Zhang Fo Jiao). Sepintas lalu, kempat agama tersebut tampak sama karena ritual ibadahnya tampak sangat mirip akibat pengaruh dari ritual ibadah Agama China, tetapi akidah (ajaran pokok) keempat agama itu amat sangat berbeda walaupun tidak kentara.
Tempat Ibadah Gotong Royong Dan Multifungsi
Tempat ibadahnya pun berbeda walau pun wujudnya mirip dan bahkan sama. Kemiripan ini bukan disebabkan karena agamanya yang sama, namun lebih didasarkan pada seni arsitektur dan kebudayaannya yang sama. Tempat ibadah Agama China adalah Miao (Bio) atau Kelenteng, tempat ibadah Agama Khong Hu Cu adalah Li Tang (Le Tong) dan Wen Miao (Bun Bio), tempat Ibadah Agama Tao adalah Guan (Kuan), dan tempat ibadah Agama Buddha adalah Shi (Si) dan An (Am), juga kadang-kadang menggunakan istilah Yuan (I). Oleh negara, semua tempat ibadah ini dianggap sama dan diperlakukan sebagai satu jenis saja.
Kelenteng Adalah Mutlak Milik Agama China
Tempat ibadah Agama China yakni Bio (Kelenteng) itu terdiri atas beberapa jenis tempat ibadah sesuai dengan fungsinya, yakni Tang (Tong), Gong (Kiong), Ting (Teng), Tan (Than), Chi (Ti), Ci (Su), Shi (Shia), Yan (Nia), Dong (Tong), Ge (Kek), Lin (Lim), Yuan (Ie), Fu (Hu), Shan (Shua), Guan (Kuan), Yuan (Heng), dan lain-lain, bahkan Guan dari Agama Tao maupun Shi dan An dari Agama Buddha Mahayana versi China pun semua berasal dari penyebutan tempat ibadah Agama China namun kemudian dimonopoli secara konotatif oleh agama tersebut. Akan tetapi, penggunaan semua istilah itu, dewasa ini sudah rancu, dan bahkan kacau.
Tunggu lanjutannya >>>>
Sumber:
Buku Kembali Ke Alam (Back to Nature)
oleh Dr. Aggi Tjetje & Dr. Some
(Suatu Tinjauan Mendalam Akan: Kiprah dan Sumbangsih Serta Pengabdian Pengobatan Tradisional Dalam Pembangunan Nasional)